Kamis, 18 September 2014

ILMU TASAWUF



PENGERTIAN DAN ASAL-USUL TASAWUF
A.    Latar Belakang
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang di-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Nasution, misalnya menyebutkan lima istilah yang ber-dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah), (orang yang nindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah), saf (baris-sufi (suci), sophos (bahasa Yunani: hikmat), dan suf (kain Keseluruhan kata ini bisa-bisa saja dihubungkan dengan wuf. Kata ahl al-suffah (orang yang ikut pindah dengan Nabi Mekkah ke Madinah) misalnya menggambarkan keadaan yang rela mencurahkan jiwa raganya, harta benda dan lain-lainya hanya untuk Allah.
Mereka ini rela meninggalkan jung halamannya, rumah, kekayaan dan harta benda lainnya kah untuk hijrah bersama Nabi ke Madinah. Tanpa ada iman dan kecintaan pada Allah, tak mungkin mereka ukan hal yang demikian. Selanjutnya kata sa/juga meng-rkan orang yang selalu berada di barisan depan dalam adah kepada Allah dan melakukan amal kebajikan. Demi-pula kata sufi (suci) menggambarkan orang yang selalu ielihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat, dan kata suf (Kain wol) menggambarkan orang yang hidup sederhana dan mementingkan dunia. Dan kata sophos (bahasa Yunani) mbarkan keadaan jiwa yang senantiasa cenderung ke pada kebenaran.
Dari segi Linguistik (kebahasaan) ini segera dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara cian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung kepada sudut pandang yang diguna-kannya masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai makhluk yang1 ber-Tuhan. Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan seba­gai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.
B.       Pengertian Tasawuf
Secara termologi (istilah), tasawuf diartikan beragam. Hal ini di antaranya karena cara memandang aktifitas-aktifitas para kaum sufi. Berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi yang di formulaasikan oleh para ahli-ahli tasawuf.
Ma’ruf al-Karkhi sebagaimana dikutip oleh As-Suhrawardi mengatakan:
tasawuf adalah mengambil hakikat dan meninggalkan yang ada di tangan makhluk.”[1]
Definisi ini menggambarkan bahwa tasawuf brupaya mencari hakikat kebenaran dengan meninggalkan kesenangan duniawi. Kesenangan duniawi tidak menjadi perhatian dan bahkan dijauhi karena dapat mengganggi ibadah dan hubungan dengan Allah.
Abu Bakar Al-Kattani sebagaimana yang dikutip oleh Imam Al-Ghazali, berkata:
tasawuf adalah budi pekerti. Barang siapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal bagimu atas dirimu dalam tasawuf, maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal, karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan petunjuk (nur) Islam. Dan orang-orang zuhud yang jiwanya menerima (perintah untuk melakukan sebagian akhlak, karena mereka telah melakukan suluk dengan petunjuk (nur) imannya.”[2]
Dari pengertian ini terlihat bahwa tasawuf berkonsentrasi pada masalah akhlak yang terpuji sebelum memasuki dunia tasawuf.
Muhammad Amin Kurdi mengatakan bahwa,
tasawuf dalah suatu ilmu yang dengannya diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, dan perjalanan menuju (keridhaan) Allah dan meninggalkan (larangan-larangan-Nya) menuju kepada (perintah-Nya).”[3]
Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa tasawuf berkaitan pada kegiatan-kegiatan pembersihan jiwa, mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara-cara suluk dan mendekatkan diri dan berada di hadirat Allah.
Menurut sebagian penulis bahwa selama ini ada tiga sudut pandamg yang digunakan untuk mendefisinikan tasawuf: pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas. Kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang. Ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan.[4]
Dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, tasawuf didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT. Dari sudut pandang manusia sebagai yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fithrah (Ke-Tuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.[5]
            Menurut Junayd al-Baghdadi tasawuf adalah menyerahkan diri kepada Allah dan bukan kepada yang lain. Ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf adalah makan sedikit demi mencari kedamaian dalam diri Allah dan menarik diri dari pergaulan umat ramai. Kalau tasawuf menurut definisi sama dengan zuhud, tasawuf berarti lapar, ada yang mengatakan bahwa, agar anda tidak cepat dimasuki setan, angga harus mengosongkan perut sehingga mudah untuk mengendalikan diri. Namun juga ada orang yang mengatakan, justru perut harus diisi penuh agar setan tidak bisa masuk. Ada yang menyimpulkan bahwa tasawuf pada intinya adalah zuhud. Tasawuf seolah-olah membenci dunia, hanya terkait dengan akhirat dan tidak dengan dunia, sehingga reaksinya pada dunia terasa negatif, dan seolah-olah mengharuskan  hidup miskin.
Menurut Annemarie Schimmel definisi tersebut hanya merupakan petunjuk. Tujuan tasawuf memang tidak akan dapat dipahami dan dijelaskan dengan persepsi apapun. Hanya kearifan hati yang mampu memahami. Diperlukan suatu pengalaman rohani yang tidak bergantung pada metode-metode indera ataupun pemikiran.
Timbulnya tasawuf dalam islam bukan suatu yang aneh dan bahkan, menurut Annemarie Schimmel kurang keislamannya bila seseorang tidak mengambil tasawuf. Nabi Muhammad SAW, sebelum menjadi rasul beliau adalah seorang sufi. Beliau hidup sederhana, memikirkan kebenaran, merenungkan alam, dan bertapa. Lalu beliau mendapatkan pencerahan, mendapat kasyf. Rasulullah saw adalah seorang kasyf. Beliau dapat berbicara langsung dengan Allah swt serta  menerima ilham dan firman Allah swt.
Fazlur Rahman mengatakan bahwa permulaan gerakan sufi berhubungan dengan satu kelompok muslim yang senang melakukan pertapaan. Mereka senang membaca Alquran dengan cara menangis. Mereka sangat menyenangi spiritualisme tingkat tinggi. Akan tetapi, yang penting adalah bahwa Nabi saw sebelum menjadi rasul maupun sesudah menjadi rasul adalah seorang sufi. Demikian juga halnya para sahabat beliau. Hanya saja, waktu itu belum dikenal yang namanya tasawuf. Sementara itu, sekarang ini, tatkala tasawuf sudah menjadi berbagai tarekat, metodenya sudah begitu teratur. Cara mengucapkannya, cara duduknya, jumlahnya, cara menarik nafasnya, cara mengeluarkan nafasnya, dan sebagainya sudah berkembang sekali. Sebenarnya, yang ada dalam kenyataan adalah tarekat. Sebab, pengamalan tasawuf ada dalam berbagai tarekat.
Ajaran tawakal dalam Alquran mendorong timbulnya tasawuf yang bercirikan zuhud. Tawakal adalah penyerahan diri. Pengalaman spiritual yang ditekankan dalam Alquran juga memberikan pengaruh bagi timbulnya tasawuf. Nabi saw mulai menjadi nabi adalah kesadaran tentang pengalaman spiritual, beliau benar-benar diperintah oleh Allah swt menjadi Rasul tatkala beliau melalui pengalaman-pengalaman spiritual.
 Perkembangan tasawuf mempunyai makna yang khusus ketika muncul guru-guru sufi. Jadi, pada tahap pertama, berjalanlah tasawuf dalam arti zuhud dan ibadah-ibadah sunnah, muncul guru-guru sufi yang sudah mencapai tingkatan tinggi,. Mereka mengajarkan wirid dan tarekatnya. Perkembangan sangat berarti pada zaman Al-Ghazali yang berjalan cukup panjang. Pada masa ini, tasawuf sudah berbeda dari sebelumnya, sebab tasawuf sudah bercampur dengan filsafat.
Tasawuf juga dapat dilihat sebagai mazhab epistimologi, yakni suatu cara atau tarekat dalam memperoleh pengetahuan. Manusia perlu berpengetahuan, karena manusia lahir dan diciptakan membawa sifat ingin tahu. Untuk mengetahui banyak hal, manusia mempunyai tiga alat: indera, akal, hati. Indera mampu mengetahui hal-hal yang empiris, indera harus dilatih agar mampu memperoleh pengetahuan tingkat tinggi, di bantu dengan metode sains. Akal dapat mengetahui obyek yang abstrak, akal juga harus dilatih, akal bisa dilatih dengan selalu berpikir agar mampu menghasilkan pemikiran yang logis. Hati dapat mengetahui hal-hal gaib yang sering disebut supralogis atau abstrak tapi masih logis, akal juga harus dilatih, hanya saja ada kekurang seimbangan diantara sains, filsafat, tetapi pengetahuan tentang hal gaib rendah.
Salat mengandung tiga aspek ini. Aspek jasmani salat, yakni gerakan-gerakan salat, aspek akal, yakni mengingat rukun-rukunnya, aspek hati, yakni menghadirkan hati dihadapan Allah swt.
Kalau dalam kajian tasawuf hanya meliputi dua aspek saja yang dikembangkan, kita akan pincang. Dengan demikian, seluruh potensi manusia harus dikembangkan secara lengkap untuk mewujudkan muslim yang paripurna.
C.  Asal-usul tasawuf
1. Sejarah Timbulnya Tasawuf
Kata tasawuf dikenal secara luas di kawasan islam sejak penghujung abad II Hijriyah, sebagai perkembangan lanjut dari keshaleham para zahid yang mengelompok di serambi Masjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupannya, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup ini merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang pesat dalam masyarakat Islam.
Sebenarnya cikal bakal munculnya tasawuf bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan Iskam itu sendiri, sebagai suatu agama dengan perilaku hidup sederhana yang dicontohkan Rasulullah SAW sebagai sumbernya.
2. Kehidupan Rasulullah Sebagai Sumber Tasawuf
“Sejarah pertumbuhan dan perkembangan tasawuf dalam Islam, menurut para peneliti, sesungguhnya sama dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam sebagai agama. Hal ini mengingat keberadaan tasawuf sama dengan keberadaan agama Islam itu sendiri. Karena, pada hakikatnya agama Islam itu ajarannya hampir dapat dikatakan corak tasawuf.”[6]
Tidak mengherankan, jika kehidupan tasawuf tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah SAW belum beliau diangkat menjadi rasul, kehidupan beliau sudah mencerminkan ciri dan perilaku kehidupan sufi yang sederhana serta menghabiskan waktu untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Alloh.
Setelah Rasulullah resmi diangkat sebagai utusan Allah, keberadaan dan cara hidup beliau masih ditandai oleh jiwa dan suasana kerakyatan. Setiap waktu malam, beliau sedikit sekali tidur. Waktu beliau habiskan untuk bermunajat kepada Allah dengan memperbanyak dzikir. Tempat tidur beliau adalah balai kayu biasa yang beralaskan daun kurma. Beliau tidak pernah memakai pakaian yang serba mewah. Beliau juga tidak makan kecuali jika lapar dan jika makan tidaklah sampai kekenyangan.
Itulah beberapa contoh kesederhanaan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat dalam menyikapi hidup. Kehidupan beliau lebih mementingkan kekayaan mental spiritual daripada kaya akan materi. Sehingga, hubungan antara makhluk dengan sang Khaliq menjadi terasa semakin dekat.
Bukti nyata kehidupan sufi yang dipraktikkan langsung oleh Rasulullah sangat berpengaruh pada kehidupan para sahabat Rasulullah yang hidup secara sederhana bahkan hidup serba kekurangan. Dalam diri mereka terpancar sinar semangat dalam beribadah kepada Allah. Hal ini tampak dalam kehidupan para sahabat diantaranya, Abu Hurairah, Abu Ad-Darda', Salman Al-Farisi, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah dan Abdullah bin Umar.
Berikut adalah contoh kesederhanaan hidup Abu Hurairah, dalam suatu riwayat disebutkan bahwa ia tidak mempunyai rumah, tetapi tidur di serambi Masjid Al-Haram, Makkah. Pakaiannya hanya satu, makan tak tentu, tak pernah kenyang, bahkan jarang makan.
Kesederhanaan hidup para sahabat juga dialami oleh Abu Ad-Darda', bahwa pada suatu hari Salman Al-Farisi mengunjungi rumah Abu Ad-Darda' yang telah dipersaudarakan nleh Rasulullah SAW dengannya. Didapatinya, ia kelihatan murung dan tidak menampakkan raut muka gembira sebagaimana sebelumnya. Ketika ditanya, istrinya menceritakan bahwa Abu Ad-Darda' akan meninggalkan kesenangan dunia seperti makan dan minum karena ia menganggap bahwa hal tersebut akan mengganggu ibadahnya kepada Allah SWT. Mendengar cerita itu, Salman Al-Farisi marah dan menyajikan makanan untuk Abu Ad-Darda'. Karena makan dan minum itu adalah salah satu sumber energi untuk melakukan ibadah kepada-Nya dan merupakan salah satu rasa syukur atas rezeki yang diberikan oleh Allah SWT.
3. Teori-teori Tentang Asal-usul Tasawuf
Meskipun kata sufi tidak terdapat dalam al-Qur'an maupun al-Hadits, namun apabila kita mencari dan menyelidiki dengan seksama maka banyak sekali sumber-sumber tasawuf dari Al-Qur'an dan Al-Hadits. Tetapi ada juga sebagian ahli yang mengatakan bahwa tasawuf dalam Islam timbul karena ada pengaruh dari luar Islam.
Di bawah ini adalah teori-teori tentang asal-usul timbulnya tasawuf dalam Islam yang berbeda-beda, antara lain:
1. adanya pengaruh dari agama Kristen dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri.
2. falsafah mistik Pythagoras yang berpendapat bahwa ruh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing.
3. filsafat Emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini terpancar dari dzat Tuhan Yang Maha Esa. Ruh berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan. Tetapi karena ruh masuk ke alam materi, maka dari itu, ruh menjadi kotor dan untuk kembali ke asalnya maka harus melalui proses penyucian ruh yaitu dengan cara meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin.
4. ajaran Budha dengan faham nirwananya. Untuk mencapai Nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi.
5. ajaran-ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan.
Teori-teori inilah yang mengatakan bahwa tasawuf dalam Islam timbul dan muncul akibat pengaruh-pengaruh dari paham di atas. Tetapi untuk membuktikan kebenaran teori ini sangatlah sulit. Dan tanpa pengaruh dari paham tersebut, tasawuf bisa muncul dari sumber pokok ajaran Islam, al-Qur'an dan Hadits.
Menurut Prof. Dr. Hamka dalam buku Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern karangan H. Moh. Toriquddin, menyimpulkan bahwa, "tasawuf Islam telah ada sejak tumbuhnya agama Islam dan tumbuh dalam jiwa Nabi Muhammad yang bersumber dari Al-Qur'an."[7]


BAB III
PENUTUP

A.                Kesimpulan
Kesimpulan dari paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: tasawuf adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh para sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara meninggalkan kesenangan dunia. Tasawuf ini telah muncul sejak zaman Rasulullah masih hidup dan beliau telah memberi contoh kepada para sahabat, dan generasi setelahnya untuk mengikuti perilaku kehidupan sufi yang telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah.
Mengenai teori-teori munculnya tasawuf, ada beberapa pendapat, yaitu: 1. adanya pengaruh dari agama Kristen dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri, 2. falsafah mistik Pythagoras yang berpendapat bahwa ruh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing, 3. filsafat Emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini terpancar dari dzat Tuhan Yang Maha Esa. Ruh berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan. Tetapi karena ruh masuk ke alam materi, maka dari itu, ruh menjadi kotor dan untuk kembali ke asalnya maka harus melalui proses penyucian ruh yaitu dengan cara meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin, 4. ajaran Budha dengan faham nirwananya. Untuk mencapai Nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi, 5. ajaran-ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan.




DAFTAR PUSTAKA

As-Suhrawardi dan Awarif al-Ma’arif. Kamisy Ihya’ ‘Ulum al-Din. (Singapura: Sulaiman Mar’i), juz I.
Al-Ghazali. Ihya ‘Ulum al-Din. (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga),  juz II.
Al-Kurdi, Muhammad Amin Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah ‘Alam al-Ghuyup, (Surabaya: Pen Bungkul Indah)
Jamil, Muhammad. Cakrawala Tasawuf.  (Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta), 2007.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. (jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2000.
Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. (Jakarta: Amzah), 2012.
Toriquddin, Moh. Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, (Malang: UIN-Malang Press), 2008


[1] As-Suhrawardi, Awarif al-Ma’arif, (Kamisy Ihya’ ‘Ulum al-Din), (Singapura: Sulaiman Mar’i, tt.), juz I, hlm. 313
[2] Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, tt.), juz II, hlm. 376.
[3] Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah ‘Alam al-Ghuyup, (Surabaya: Pen Bungkul Indah, tt.), hlm. 406.
[4] Muhammad Jamil, Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2007),
[5] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 180.
[6] Samsul Munir Amin,Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, November 2012), hlm. 87.
[7]Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam Dunia Moder, (Malang: UIN-Malang Press, April 2008), hlm. 19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar