Kamis, 18 September 2014

DALIL-DALIL HUKUM YANG TIDAK DISEPAKATI (ISTIHSAN DAN MASHLAHAH MURSALAH)



بسم الله الرحمن الحيم
DALIL-DALIL HUKUM YANG TIDAK DISEPAKATI
(ISTIHSAN DAN MASHLAHAH MURSALAH)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Selain dari empat syara’ yang disepakati dikalangan jumhur ulama, yaitu: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas, terdapat dalil-dalil lain yang penggunaannya sebagai dalil hukum yang tdak disepakati seluruh ulama ushul fiqh. Sebagian ulama, Ath-Thufi misalnya,menjelaskan bahwa dalil-dalil syara’ tersebut ialah ijma’ ahl madinah (kesepakata penduduk Madinah), qaul ash shahabi (pendapat sahabat), al-Mashlahah Mursalah (kemaslahatan mutlak), al-istishhab (keadaan tetap berlakunya hukumsebagaimana adanya), al-bara’ah al ashliyah (kebebasan yang asli), al-awaid (keadaan biasanya), al-istqra’ (peneliti induktif), sadd adz-dzarai (menutup sarana), al-istidlal (menemukan dalil), al-Istihsan (menganggap baik), al-akhz bi al-akhaff (mengambil yang paling ringan), al-‘ismah (bebas dari kesalahan), ijma’ ahl Al-Kufah (kesepakatan penduduk Kufah), ijma’ al’Utrah (kesepakatan keluarga Nabi), dan ijma’ al khulafa’ al-arba’ah (kesepakatan khalifah yang empat). Jika semua dalil tersebutu digabungkan, maka jumlahnya ada sembilan belas dalil.
            Selain sembilan belas dalil tersebut masih ada dua puluh enam dalil syara’ lainnnya yang bersifat terperinci. Yang juga dikemukakan sebagian ulama, tetapi tidak disepakati oleh sebagian ulama lainnya. Dengan demikian, semua dalil syara’ diperinci lebih jauh, maka jumlah seluruhnya adalah sebanyak empat puluh macam. Namun, dibawah ini akan dijelaskan beberapa saja, diantaranya, yaitu: Istihsan Mashlahah Mursalah,
B.        Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian Istihsan?
2.         Berapa pembagian Istihsan?
3.         Bagaimana kehujjahan Istihsan?
4.         Apakah pengertian Mashlahah Mursalah?
5.         Berapa pembagian Mashlahah Mursalah?

PEMBAHASAN

A.    Istihsan
1.      Pengertian Istihsan
Istihsan, secara bahasa berarti berusaha mencari yang terbaik. Sedangkan secara istilah, Istihsan adalah meninggalkan ketentuan khusus dan mengamalkan ketentuan umum karena dipandang lebih baik.[1]
Menurut al-Bazdawi,  Istihsan adalah beralih dari konsekensi suatu qiyas kepada model qiyas yang lain yang lebih kuat dari qiyas yang pertama. Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili merumuskan dua definisi yaitu:[2]
a.       Lebih mengunggulkan qiyas khafi daripada qiyas jali berdasarkan alas an tertentu.
b.      Mengecualikan hukum kasus tertentu dari prinsip hokum atau premis yang bersifat umum, berdasarkan alasan tertentu yang menuntut berlakunya pengecualian tersebut.
Dari definisi-definisi di atas dapat dikatakan, pada hakikatnya, Istihsan terdiri atas dua macam, yaitu:
a.      Istihsan Qiyasi
Istihsan qiyasi ialah suatu bentuk pengalihan hokum dari ketentuan hukum yang didasarkan pada qiyas jail kepada qiyas khafi, karena ada suatu alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum. Namun, Istihsan ini dilakukan untuk kemaslahatan orang banyak atau tidak kepentingan pribadi.
b.      Istihsan Istitsna’i
Istihsan Istitsna’I ialah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hokum tertentu yang bersifat khusus. Istihsan bentuk kedua ini, dibagi menjadi, beberapa macam sebagai berikut:[3]
1)      Istihsan bi an-nashsh
Istihsan bi an-nashsh ialah, pengalihan hokum dari ketentuan yang umum kepada ketentuan yang lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nashsh yang mengecualikannya, baik nashsh tersebut di dalam al-qur’an maupun sunnah.
2)      Istihsan bi al-Ijma’
Istihsan bi al-Ijma’ ialah pengalihan hukum dari ketentuan umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada ketentuan ijma’ yang mengecualikannya.
3)      Istihsan bi al-‘Urf
Istihsan bi al-‘Urfialah, pengecualianhukumdariprinsipsyariah yang umum, berdasarkankebiasaan yang berlaku.
4)      Istihsan bi ad-dharurah
Istihsan bi ad-dharurahialah, suatueadaandarurat yang mendorong mujtahid untuk mengecualikan ketentuan qiyas yang berlaku umum kepada ketentuan lain yang memenuhi kebutuhan mengatasi keadaan darurat.
5)      Istihsan bi al-Mashlahah Mursalah
Istihsan bi al-Mashlahah Mursalah ialah, mengecualikan ketentuan hukum yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip kemaslahatan.
2.      Pro Kontra kehujjahan Istihsan
Keberadaan Istihsan ini diperselisihkan. Imam Abu Hanifah dan Imam Maliki adalah pendukung penggunaan Istihsan. Abu Hanifah banyak menetapkan hukum menggunakan Istihsan tetapi tidak pernah menjelaskan pengertian dari Istihsan itu. Ketika menetapkan suatu hukum dengan cara Istihsan, Abu Hanifah mengatakan: “astahsin” yang artinya saya menganggap baik. Penetapan hukum dengan Istihsan itu diikuti pula oleh para sahabat dan pengikut Abu Hanifah. Sehingga dalam sejarah ushul fiqh, golongan Hanafiah disebut sebagai golongan yang memakai Istihsan sebagai salah satu metode istinbath hukum.[4]
Sedangkan Imam Syafi’I menolak penggunaan Istihsan, bahkan ia mengatakan bahwa: “Siapa yang melakukan “Istihsan” berarti dia telah membuat syari’at”.
Para ulama yang menggunakan Istihsan sebagai dalil syara’ mengemukakan argumen, diantaranya:[5]
a.                   Menggunakan Istihsan bararti mencari yang mudah dan meninggalkan yang sulit. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Baqarah: 185
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
b.                  Firman Allah pada QS Az-Zumar: 55
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ العَذَابُ بَغْتَةً وَأَنتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
Artinya: Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya,
c.                   Ucapan Abdullah bin Mas’ud
Artinya: sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia dipandang baik oleh Allah.
            Sementara itu, kelompok yang menolak kehujjahan Istihsan mangemukakan dalil, antara lain:[6]
a.       Firman Allah pada QS Al-Maidah: 49
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيراً مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
Artinya: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
b.      Firman Allah pada QS An-Nahl: 44
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Yang artinya: dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,
c.       Rasulullah SAW tidak pernah menetapkan hokum berdasarkan Istihsan yang dasarnya adalah nalar murni, melainkan menunggu turunnya wahyu. Sebab beliau tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu belaka.
d.      Istihsan itu landasannya adalah akal,di mana kedudukan orang yang terpelajar dan tidak adalah sama. Jika menggunakan Istihsan dibenarkan, tentu setiap orang boleh menetapkan hokum baru untuk kepentingannya sendiri.
Dari argumen yang digunakan oleh dua kelompok di atas, dapat dikatakan, pada hakikatnya perbedaan kelompok tersebut tidak menyentuh hal-hal mendasar. Dengan kata lain, perbedaan pendapat mereka hanya dari segi penggunaan istilah. Karena, kritik yang dikemukakan oleh Imam AsSyafi’I terhadap Istihsan adalah Istihsan yang semata-mata didasarkan pada pertimbangan akal murni, tanpa didasarkan pada dalil syara’. Padahal Istihsan menggunakan sandaran yang brupa nash al-Qur’an atau sunnah atau ijma’ atau Mashlahah Mursalah.
Dan pada hakikatnya, Istihsan, dengan segala bentuknya adalah mengalihkan ketentuan hokum syara’ kepada hokum syara’ yang lain yang lebih kuat.
B.     Mashlahah Mursalah
Mashlahah Mursalah adalah kemaslahatan atau kemanfaatan (bagi manusia) yang tidak ada ketetapannya dalam nash yang membatalkan atau membenarkannya.[7] Menurut Ridwan Hr, dalam bukunya menyebutkan bahwa, “ penggunaan Mashlahah Mursalah ini harus bersandar pada tiga syarat atau tiga kriteria, yaitu; [8]
1.         Kemaslahatan itu bersifat mendasar dan berdasarkan prinsip mengambil manfaat dan menolak mafsadat,
2.         Kemaslahatan itu bersifat umum, bukan kepentingan perorangan dan bermanfaat bagi banyak orang,
3.         Kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan nash atau salah satu dasar agama.
Dalam membicarakan Mashlahah Mursalah, sebagai dalil hukum, pada umumnya ulama lebih dulu meninjaunya dari segi ada atau tidaknya kesaksian syara’ terhadapnya. Baik kesaksian tersebut bersifat mengakui atau melegitimasi sebagai al mashlahah ataupun tidak. Dalam hal ini, jumhur ulama membagi Mashlahah Mursalah menjadi tiga macam, yaitu:[9]
a.       Al-Mashlahah yang terdapat kesaksian syara’ dalam mengakui keberadaannya.
b.      Al-Mashlahah yang terdapat kesaksian syara’ yang membatalkannya/menolaknya.
c.       Al-Mashlahah yang tidak terdapat kesaksian syara’ ,baik yang mengakuinya maupun yang menolaknya dalam bentuk nashsh tertentu. Mashlahah bentuk ketiga ini, dibagi menjadi 2, yaitu: Al-Mashlahah al-gharibah, Al-Mashlahah al-mula’imah.



PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dapat disimpulkan,bahwa:
1.      Secara bahasa, Istihsan adalah menganggap baik sesuatu. Sedangkan menurut istilah Istihsan adalah berpindahnya hukum dari qiyas jali ke qiyas khafi, karena qiyas khafi dianggap lebih baik.
2.      Bahwa Istihsan secara umum dibagi menjadi 2 macam, yaitu: Istihsan Qiyasi dan Istihsan Istisna’i. Sedangkan Istihsan Istitsna’i dibagi menjadi 5 macam, yaitu: Istihsan bi an-nashsh, Istihsan bi al-Ijma’, Istihsan bi al-‘Urf,  Istihsan bi ad-dharurah, Istihsan bi al-Mashlahah Mursalah
3.      Bahwa kehujjahan Istihsan diperdebatkan oleh beberapa Imam, dan mereka memiliki dalil atau dasar hukum sendiri. Baik yang menerima maupun yang menolaknya.
4.      Secara bahasa, Mashlahah Mursalah adalah kemaslahatan atau kemanfaatan (bagi manusia) yang tidak ada ketetapannya.
5.      Bahwa Mashlahah Mursalah dibagi menjadi 3.



Daftar Pustaka

Ridwan HR,  Fiqih Politik Gagasan, terapan dan Kenyataan. Yogyakarta: FH UII PRESS. 2007.
Usman, Iskandar. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta Utara: PT RajaGrafindo Persada. 1994.
Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqh.  Jakarta: Amzah. 2010.




[1]Ridwan HR, Fiqih Politik Gagasan, terapan dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH UII PRESS, Desember 2007), hlm. 92.
[2] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 198.

[3] Ibid., hlm 198-202.
[4]IskandarUsman. IstihsandanPembaharuanHukum Islam, (Jakarta Utara: PT RajaGrafindoPersada, Oktober 1994), hlm. 6-7.
[5]Abd.RahmanDahlan, UshulFiqh, ( Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 203-204
[6]Ibid.,hlm. 205
[7]Ridwan HR, Fiqih Politik, (Yogyakarta: FH UII PRESS, Desember 2007), hlm. 94.

[8] Ibid.
[9]Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 207-208.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar